"Gue Debi, gue suka bingung kalo ditanya asal dari mana, ibu gue padang, ayah gue... lahir di... tapi sekarang di pamulang."
Pertemuan pertama kami di BlueStage, tanggal 29 waktu itu, kita berkumpul untuk persiapan Opera Budaya, saat itu ia anak sastra Jerman pertama yang saya kenal, saya jabat tangan mungilnya dengan hangat.
"Kirain gue Unpad itu di Bandung kota, eh ternyata di Jatinangor. Kulit gue jadi kering-kering nih." Ceria... ceriaa sekali ia. Gak pernah kalau bertemu dia, dia sedang menangis, cemberut atau mengeluh.
Kedekatan kami dimulai karena kesamaan gemar blogging, kami bertukar blog dan saling berkomentar. Lalu kita bersepuluh dikumpulkan dan dipertemukan, kami menyebut diri kami PKK GENERATION.
Di perjalanan persahabat kami bersebelas, Mak Ratna, Upi Febi, Unni Sarah, ade Anggit, Teteh Rani, Mbak Azmi, Mpok Vina, Bu rempong Revi, ayeng ajeng, Kakak Debi dan Saya, yang mereka sebut neng Fahda, kami melalui hari-hari ceria. Membuat Video gila, nyanyi-nyanyi lagu india, belajar musik dari Kak Deb, beli AMK di Jatos, beli seblak di Jatos, bareng.
Indah, Kak Deb saat-saat bersama Kak Deb dan PKK Generation.
Siang ini, saya menerima sms duka. Kak Deb kami, telah dipanggil ke dunia yang kekal karena sakit yang di deritanya.
Kak Deb, baru kamrin saya dan teman kosan membecirakan kematian, Kak Deb.
Kak Deb, besok UAS Bahasa Inggris, jadi ingat, Kak Deb paling semangat buat nyemangatin saya belajar bahasa Inggis yang ngenekinnya minta ampun. "Ayooo barisan cum laude!" katanya. Kak Deb, saya rasa wisudaan nanti kita tidak bisa baris bersama.
Banyak kenangan kami bersama, saya ingat saat kita di kosan saya, saat itu pertama kali upi Feby penen coba pake jilbab, eh Kak Deb ikut-ikutan nyobain jilbab.
Saya ingat cita-cita Kak Deb, kami rencana membuat orkestra kecil, buat iseng-iseng. Kak Deb paling semangat nyuruh saya latihan biola, "Yuk latihan." kalau saya alasan senar belum ganti, padahal males, ada aja ide kak Deb, "Ah gampang, tar ada biola temenku."
Kak Deb, saya baru mengerti, Foto ini diambil saat jam Bahasa Inggris, saat itu dosen gak ada. Kak Deb maksa kita buat foto bareng, katanya mumpung hape baru, mumpung lagi kumpul semua kecuali teteh Rani. Kak Deb saya paham sekarang.
Kak Deb, persahabatan kita bersebelas tidak dibatasi perbedaan agama
tidak dibatasi perbedaan bentuk badan
tidak dibatasi perbedaan warna kulit
tidak dibatasi dengan perbedaan kelas deutsch, PU dan WA
tidak dibatasi dengan perbedaan selera pedas
tidak dibatasi dengan perbedaan departemen
tidak dibatasi dengan perbedaan agenda mingguan
Kak Deb biar UAS ini gak ada Kak Deb, PKK Generation akan tetap nyimpen Kak Deb di hati kami. Love You
Maaf kalau tulisan ini menambah kesedihan kita, tapi biarlah saya mengenang Kak Deb lewat ini.
Fahda A. Fauziani
Senin, 17 Juni 2013
Minggu, 16 Juni 2013
Hikmah diatara Rak-Rak Buku
Subhanallaah...
Hari minggu ini sungguh luar biasa.
Jadi begini curhatnya...
Hari minggu kemarin saya pergi ke Tissera untuk membeli sebuah buku dan liat-liat senar biola. Ketika saya berdiri di deretan buku Ust. Yusuf Mansyur ada seorang teteh berjilbab panjang berwarna senada dan memakai sarung tangan menghampiri saya yang saat itu sedang galau mau beli buku The secret of a happy life atau tidak. karena galau berkepanjangan akhirnya buku itu saya letakkan lagi ke tempat semula.
Kami berkenalan sekedar nama, asal dan seputar perkuliahan. Beliau kaget mendengar seorang saya di sastra jerman. Hanya itu, kemudian saya pamit mencari-cari buku lagi.
Gak lama ketika saya sedang di buku musik, teteh itu kembali lagi menghampiri saya. Kali ini beliau meminta nomor handphone saya, saya belum tahu apa maksudnya, tapi saya berikan karena saya pikir tidak ada yang salah dari berbagi nomor.
lalu teteh itu berujar, "Subhanallah ya, pahdah (Saya gak ngerti, kenapa nama saya bisa berubah) Kita sebelumnya gak tau satu sama lain. Kamu dari bogor, saya dari mana. Tapi Allah mempertemukan kita disini. ini kan sebagai silahturahmi, ya?" saya hanya senyum-senym, mengangguk-anggup sepanjang pembicaraan.
Lalu banyk hal yang ia jelaskan, yang tidak bisa saya ingat semua kata-katanya. saya hanya ingat dengan jelas nasihatnya tentang eksistesi manusia.
Awalnya beliau bertanya kenapa saya belajar Bahasa Jerman? sumpah demi apapun, saat itu saya hanya berpikir bahwa saya mau sastra jerman. Tapi beliau meluruskan niat belajar saya yang bengkok, katanya
"Jangan sampai kita belajar hanya untuk belajar, jangan sampai kita hanya mengejar dunia. Kalau bisa niatkan sebagai ajang mendekat ke jalan Allah, siapa tahu dek, siapa tadi? (Udah salah lupa lagi) bisa berangkat ke Jerman, kan kalau bisa bahasa Jerman bisa berdakwah di sana, kalau gak bisa bahasa Jerman kan nanti miss communication." Kembali saya ngangguk-ngangguk autis.
"Kita jangan sampai eksis di dunia karena mengejar dunia. Harta? untuk apa kalau pada akhirnya hanya bisa memberikan selembar kain kafan? Keluarga? Jangan sampai kita terlalu mencintai keluarga kita di banding Allah, padahal keluarga cuma bisa mengantarkan kita sampai ke liang lahat. Amal baik? ini yang mungkin sangat berguna." Lanjutnya kalimatnya, yang belakangan baru saya ketahui bahwa itu adalah kutipan dari salah satu hadist. Seperti sebelumnya, saya hanya manggut-manggut.
"Tahu gak untuk apa Allah menciptakan manusia?" tanyanya.
sebelum menjawab saya senyam-senyum dulu, larak-lirik mencari jawaban.
"Yang saya tahu sih, teh. Untuk ibadah dan menjadi Khalifah teh. hehheeehe."
"Hmmm..." sepertinya beliau tidak puas dengan jawaban saya. "Ya betul juga, sih. cuma yang mau saya jelaskan di sini adalah, bahwa manusia itu punya kewajiban selalu menaati perintahnya dan menjauhi larangannya."
Dalam hati saya bilang, 'Abid dan menjadi Khalifah rasanya mencakup.
Sebenarnya saya tidak bisa membaca kemana arah pembicaraan kita, entah apa sebenarnya yang ingin dikatakan sang teteh. Hanya saja, ini sebuah keluarbiasaan yang amat sangat, sepertinya hikmah bisa ditarik dari mana saja, bahkan di antara rak-rak buku atau bahkan di depan kasir. Allah tahu mana yang dibutuhkan hambanya, maka saat itu, saya yang minggu ini pulang kampung dan mangkir dari melingkar diberi sesuatu dari orang yang baru saya kenal. Wallahu'alam.
Ambil saja kebaikan dari tulisan ini, dan itu pasti datangnya dari Allah.
Yang pasti datang dari keburukan saya dalam tulisan itu, tendang saja.
salam cinta persaudaraan,
Fahda A. Fauziani
Hari minggu ini sungguh luar biasa.
Jadi begini curhatnya...
Hari minggu kemarin saya pergi ke Tissera untuk membeli sebuah buku dan liat-liat senar biola. Ketika saya berdiri di deretan buku Ust. Yusuf Mansyur ada seorang teteh berjilbab panjang berwarna senada dan memakai sarung tangan menghampiri saya yang saat itu sedang galau mau beli buku The secret of a happy life atau tidak. karena galau berkepanjangan akhirnya buku itu saya letakkan lagi ke tempat semula.
Kami berkenalan sekedar nama, asal dan seputar perkuliahan. Beliau kaget mendengar seorang saya di sastra jerman. Hanya itu, kemudian saya pamit mencari-cari buku lagi.
Gak lama ketika saya sedang di buku musik, teteh itu kembali lagi menghampiri saya. Kali ini beliau meminta nomor handphone saya, saya belum tahu apa maksudnya, tapi saya berikan karena saya pikir tidak ada yang salah dari berbagi nomor.
lalu teteh itu berujar, "Subhanallah ya, pahdah (Saya gak ngerti, kenapa nama saya bisa berubah) Kita sebelumnya gak tau satu sama lain. Kamu dari bogor, saya dari mana. Tapi Allah mempertemukan kita disini. ini kan sebagai silahturahmi, ya?" saya hanya senyum-senym, mengangguk-anggup sepanjang pembicaraan.
Lalu banyk hal yang ia jelaskan, yang tidak bisa saya ingat semua kata-katanya. saya hanya ingat dengan jelas nasihatnya tentang eksistesi manusia.
Awalnya beliau bertanya kenapa saya belajar Bahasa Jerman? sumpah demi apapun, saat itu saya hanya berpikir bahwa saya mau sastra jerman. Tapi beliau meluruskan niat belajar saya yang bengkok, katanya
"Jangan sampai kita belajar hanya untuk belajar, jangan sampai kita hanya mengejar dunia. Kalau bisa niatkan sebagai ajang mendekat ke jalan Allah, siapa tahu dek, siapa tadi? (Udah salah lupa lagi) bisa berangkat ke Jerman, kan kalau bisa bahasa Jerman bisa berdakwah di sana, kalau gak bisa bahasa Jerman kan nanti miss communication." Kembali saya ngangguk-ngangguk autis.
"Kita jangan sampai eksis di dunia karena mengejar dunia. Harta? untuk apa kalau pada akhirnya hanya bisa memberikan selembar kain kafan? Keluarga? Jangan sampai kita terlalu mencintai keluarga kita di banding Allah, padahal keluarga cuma bisa mengantarkan kita sampai ke liang lahat. Amal baik? ini yang mungkin sangat berguna." Lanjutnya kalimatnya, yang belakangan baru saya ketahui bahwa itu adalah kutipan dari salah satu hadist. Seperti sebelumnya, saya hanya manggut-manggut.
"Tahu gak untuk apa Allah menciptakan manusia?" tanyanya.
sebelum menjawab saya senyam-senyum dulu, larak-lirik mencari jawaban.
"Yang saya tahu sih, teh. Untuk ibadah dan menjadi Khalifah teh. hehheeehe."
"Hmmm..." sepertinya beliau tidak puas dengan jawaban saya. "Ya betul juga, sih. cuma yang mau saya jelaskan di sini adalah, bahwa manusia itu punya kewajiban selalu menaati perintahnya dan menjauhi larangannya."
Dalam hati saya bilang, 'Abid dan menjadi Khalifah rasanya mencakup.
Sebenarnya saya tidak bisa membaca kemana arah pembicaraan kita, entah apa sebenarnya yang ingin dikatakan sang teteh. Hanya saja, ini sebuah keluarbiasaan yang amat sangat, sepertinya hikmah bisa ditarik dari mana saja, bahkan di antara rak-rak buku atau bahkan di depan kasir. Allah tahu mana yang dibutuhkan hambanya, maka saat itu, saya yang minggu ini pulang kampung dan mangkir dari melingkar diberi sesuatu dari orang yang baru saya kenal. Wallahu'alam.
Ambil saja kebaikan dari tulisan ini, dan itu pasti datangnya dari Allah.
Yang pasti datang dari keburukan saya dalam tulisan itu, tendang saja.
salam cinta persaudaraan,
Fahda A. Fauziani
Jumat, 14 Juni 2013
Gerbang yang Sudah lama tersegel
Saya akan menceritakan tentang seseorang. Ia seorang kriminal, hidupnya di jalan, makannya tak tentu, ia bisa makan sangat enak ketika hasil copetan dan jambretannya bagus tapi sebaliknya.
Suatu hari, ia bertemu seorang muslim yang kece, pemuda. Menawarkannya sebotol air mineral setelah ia jatuh tersandung patok besi. Hatinya tersentuh melihat keramahan sang pemuda kepada dirinya yang terkenal bengis. Di mata sang pemuda, tidak ada rasa takut, melecehkan atau merasa tinggi kepada sang preman. Ia pikir, semua muslim taat pasti melecehkannya, mencaci dan memakinya, pernah suatu hari, ada yang menghancurkan tempat tinggalnya bersama kelima temannya tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya. Pemuda ini berbeda, ia datang dengan kabar gembira, sang preman sungguh sangat simpatik.
"Eh, bocah. Lu kaga takut ama gua?"
"Heheh. Takut bang. Siapa yang ga kenal abang? takutlah saya." Padahal sang preman tahu, sang pemuda tidak takut sama sekali. Biar kata preman, ia sangat lihat membaca mata seseorang, sang pemuda berkata begitu hanya untuk mengakrabkan diri dan membangun kepercayaan, pikirnya. Pasti di dalam hatinya, ia berkata, "Saya hanya takut kepada Allah."
Apa daya sang pemuda terlalu menggemaskan untuk di perlakukan buruk. Maksudnya, akhlaknya yang menggemaskan. Mereka duduk bersama, karena saat itu kaki si preman terkilir. Anak bukan, saudara bukan, sang pemuda dengan senang hati memijat kaki sang preman 30 tahunan, lajang, terkilir pula.
"Tadinya gua pikir, gua mau resign aja." kata sang preman dengan mata bening kosong, ini pertama kalinya ia curhat denan seseorang yang baru ia kenal satu hari.
"Resign jadi copet, Bang?"
"Bukan. Jadi manusia, gua pikir, gua lebih baik mati, kan? tapi tetep aja, Allah ngebiarin gua hidup dan ngelakuin hal yang sama lagi. Nyopet tiap hari, ngerampok tiap hari. Gua heran, apa Dia nunjukin kekuatan Dia? sesombong itukah Tuhan? tega bener ngebiarin gua hidup dan ngelakuin dosa lagi." Seakan pintu yang sudah lama ditutup dan disegel terbuka kembali.
"Mungkin, Bang. Allah begitu karena gak tega ngeliat abang langsung disiksa di kuburan, Bang. Allah gak nerima surat pengunduran diri abang karena Allah pengen abang jadi orang yang baik, kayaknya, Bang. Roman-romannya, nih, Allah pengen ketemu abang di syurga, Bang. Waaah, saya jadi iri ama abang."
Sang preman mengedip-ngedipkan matanya. Ini pertama kalinya ia mendengarkan perkataan bocah juga pertama kalinya mendenga nasihat yang begitu pas kata-katanya untuk seorang preman juga pertama kalinya ada orang yang iri sama dia.
Ini pertama kalinya, seorang pemuda yang memperlakukannya sebagai orang tua, memperlakukannya sebagai orang yang terkilir, dakwahnya mengalir begitu saja, tanpa memaksakan sang preman sebagai objek dakwahnya.
"Eh, Bocah. Lu ngaji dimana, si?" sang pemuda tertegun, merinding luar biasa...
Suatu hari, ia bertemu seorang muslim yang kece, pemuda. Menawarkannya sebotol air mineral setelah ia jatuh tersandung patok besi. Hatinya tersentuh melihat keramahan sang pemuda kepada dirinya yang terkenal bengis. Di mata sang pemuda, tidak ada rasa takut, melecehkan atau merasa tinggi kepada sang preman. Ia pikir, semua muslim taat pasti melecehkannya, mencaci dan memakinya, pernah suatu hari, ada yang menghancurkan tempat tinggalnya bersama kelima temannya tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya. Pemuda ini berbeda, ia datang dengan kabar gembira, sang preman sungguh sangat simpatik.
"Eh, bocah. Lu kaga takut ama gua?"
"Heheh. Takut bang. Siapa yang ga kenal abang? takutlah saya." Padahal sang preman tahu, sang pemuda tidak takut sama sekali. Biar kata preman, ia sangat lihat membaca mata seseorang, sang pemuda berkata begitu hanya untuk mengakrabkan diri dan membangun kepercayaan, pikirnya. Pasti di dalam hatinya, ia berkata, "Saya hanya takut kepada Allah."
Apa daya sang pemuda terlalu menggemaskan untuk di perlakukan buruk. Maksudnya, akhlaknya yang menggemaskan. Mereka duduk bersama, karena saat itu kaki si preman terkilir. Anak bukan, saudara bukan, sang pemuda dengan senang hati memijat kaki sang preman 30 tahunan, lajang, terkilir pula.
"Tadinya gua pikir, gua mau resign aja." kata sang preman dengan mata bening kosong, ini pertama kalinya ia curhat denan seseorang yang baru ia kenal satu hari.
"Resign jadi copet, Bang?"
"Bukan. Jadi manusia, gua pikir, gua lebih baik mati, kan? tapi tetep aja, Allah ngebiarin gua hidup dan ngelakuin hal yang sama lagi. Nyopet tiap hari, ngerampok tiap hari. Gua heran, apa Dia nunjukin kekuatan Dia? sesombong itukah Tuhan? tega bener ngebiarin gua hidup dan ngelakuin dosa lagi." Seakan pintu yang sudah lama ditutup dan disegel terbuka kembali.
"Mungkin, Bang. Allah begitu karena gak tega ngeliat abang langsung disiksa di kuburan, Bang. Allah gak nerima surat pengunduran diri abang karena Allah pengen abang jadi orang yang baik, kayaknya, Bang. Roman-romannya, nih, Allah pengen ketemu abang di syurga, Bang. Waaah, saya jadi iri ama abang."
Sang preman mengedip-ngedipkan matanya. Ini pertama kalinya ia mendengarkan perkataan bocah juga pertama kalinya mendenga nasihat yang begitu pas kata-katanya untuk seorang preman juga pertama kalinya ada orang yang iri sama dia.
Ini pertama kalinya, seorang pemuda yang memperlakukannya sebagai orang tua, memperlakukannya sebagai orang yang terkilir, dakwahnya mengalir begitu saja, tanpa memaksakan sang preman sebagai objek dakwahnya.
"Eh, Bocah. Lu ngaji dimana, si?" sang pemuda tertegun, merinding luar biasa...
Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan peringatan yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang baik. sesungguhnya, Tuhanmulah Yang Maha Tahu siapa yang tersesat dari jalanNya dan Yang Maha Tahu siapa yang mendapat petunjuk. An-nahl:125
Ini hanya fiktif, kalau ada kesamaan cerita, Alhamdulillah.
Semoga cerita ini menginspirasi
salam cinta,
Fahda A. Fauziani
Selasa, 04 Juni 2013
Finding ourselves ^^ - Belajar dari Harry Potter
“Life is not about finding yourself. Life is about creating yourself”
Kata-kata itu saya dapat dari buku tulis yang saya beli di
favorit stationary. Entah mengapa kalimat itu begitu menghipnotis. Versi
lebainya, saya tidak bisa melupakan kalimat itu dalam sepuluh menit kedepan.
Kalau
dipikir-pikir, ada benarnya juga kata-kata itu. Mencari? Sampai kapan kita mau
mencari diri kita? Bukankah ada yang lebih mudah? Yaitu, membentuknya sendiri.
Logikanya, kalau ada yang lebih mudah,
mengapa mencari yang sulit. Hanya saja, disini bagaiman kita
menginginkan diri kita.
Saya
jadi ingat Film harry pottes the chamber of secret
Setelah menaklukan bassilik Harry
mengungkapkan apa yang mengganjal di pikirannya kepada Dumbledore, tentang
mengapa ia berada di Gryffindor pada saat seleksi masuk Hogwart.
“Ada persamaan antara saya dan
Tom Ridle (Voldemort). . . “
katanya. “Berarti topi, seleksi benar,
saya seharusnya berada di slyhterin.“
Kata Dumbledore, “Benar bahwa kau punya kekuatan voldemort: tegas, cerdik
dan suka melanggar peraturan. Tapi mengapa topi seleksi menempatkanmu di
Gryffindor?“
“Karena saya yang
menginginkannya.”
„Exactly, itulah yamg
membedakanmu dengan Voldemort. Bukan keahlian yang menunjukan siapa kita
sebenarnya, tapi pilihan yang kita ambil.”
Ya, begitulah. Harry bukan
menemukan dirinya di Gryffindor, tapi ia meminta sang topi untuk menempatkannya
di Gryffindor.
Kurang puas dengan ilustrasi Harry? Ayo kita cek Alquran,
saya lupa lengkapnya, tapi di surat itu dituliskan, Allah tidak akan mengubah
suatu kaum, kecuali mereka mengubahnya sendiri.
Ah, Fahda... fahda... bicara itu mudah, teori itu mudah! Ya,
saya juga tahu. Saya juga sedang berusaha, membentuk diri itu memang harus
praktik dengan serius. Saya tahu. Tapi bukan hal yang mustahil dari hanya
sekedar teori lalu melekat hingga bisa diaplikasikan, bukan?
Wallauhualam. Semoga bermanfaat
Jumat, 10 Mei 2013
sebuah Puisi, Netral-Fahda Fauziani
Ini puisi pertama dalam postingan saya. Rasanya agak aneh menulis sebuah puisi. \
Baca baik-baik yaaa ^^
Aku lebih suka diriku,
sebagai bayangan
Tidak berwarna dengan bentuk yang tidak sempurna
sebab aku merona tidak menampak dalam bayangan
Aku lebih suka diriku,
Pada pukul tujuh pagi
Tanpa tersenyum juga tanpa cemberut
Aku bahagia tidak berekspresi di pukul tujuh pagi
Aku lebih suka diriku,
menulis dengan pensil 2B
tak terlalu tipis juga tak terlalu tebal
Aku lebih suka diriku,
melayang di kolam
tidak mengapung juga tidak tenggelam
Penuh cinta,
Fahda Arasyi F.
Baca baik-baik yaaa ^^
Netral
Aku lebih suka diriku,
sebagai bayangan
Tidak berwarna dengan bentuk yang tidak sempurna
sebab aku merona tidak menampak dalam bayangan
Aku lebih suka diriku,
Pada pukul tujuh pagi
Tanpa tersenyum juga tanpa cemberut
Aku bahagia tidak berekspresi di pukul tujuh pagi
Aku lebih suka diriku,
menulis dengan pensil 2B
tak terlalu tipis juga tak terlalu tebal
Aku lebih suka diriku,
melayang di kolam
tidak mengapung juga tidak tenggelam
Penuh cinta,
Fahda Arasyi F.
Senin, 25 Maret 2013
Cerita Kupu-kupu di siang AMC
Terkadang manusia butuh banyak kekanak-kanakan untuk mengerti bahagia itu seperti apa
Terkadang manusia butuh banyak menangis untuk mengerti salah itu seperti apa
Terkadang manusia butuh sedikit merenung untuk mengetahui hidup itu seperti apa
Saraholmes, begitu ia ingin di panggil. Sahabat satu jurusan di Sastra Jerman Unpad, bersamanya hari ini kami meneliti sesuatu yang sangat sesuatu.
Sesuatu yang setelah melihatnya, kami menyepakati suatu hal, yaitu hidup tidak bisa sendirian, hidup butuh penyemangat, pemacu motivasi, sesuatu yang membangkitkan yang lemah dengan cinta.
Hari ini, kami duduk-duduk di depan AMC (Al-Mushlih center), suatu tempat yang sangat nyaman untuk berbagi cerita. Tanpa di sadari, dengan sendirinya rasa nyaman itu datang.
Hari ini, tumben saja kami ingin berada di luar, biasanya di dalam. Padahal hari ini angin cukup kencang, sesekali melihat ular-ulat yang berjatuhan, daun-daun berguguran, hingga sampai pada akhirnya kami menyadari bahwa banyak sekali kupu-kupu hari ini. Tidak seperti biasanya.
Dari sekian banyak kupu-kupu yang kami amati, ada satu yang menyadarkan kami tentang memotivasi sesama.
Ada seekor kupu-kupu berwarna kuning putih yang terus berputar-putar, kami awalnya bingung, apa yang sedang kupu-kupu itu lakukan. Sembahyang kah? menari kah? atau gila kah?
begitu kami sedikit menundukan kepala, ternyata ada seekor lagi kupu-kupu berwarna sama yang terkapar. Saya tidak tahu apa maksud kupu-kupu itu sampai akhirnya ia mengangkat kupu-kupu yang terkapar. Berkali-kali jatuh. Tapi ia angkat lagi, sampai akhirnya ia mampu membawa kawannya yang terkapar sejauh dua langkah saya. Dua kupu-kupu itu terkapar, saya pikir, mereka pasti kelelahan, menyerah sudah sang kawan yang ingin menolong.
But, hal terindah terjadi selanjutnya. Ketika saya pikir mereka sudah kelelahan dan mungkin saja mati, ternyata tidak, mereka terbang, kedua kupu-kupu kuning putih itu terbang.
saya pikir yang terjadi adalah, si kupu-kupu menyalurkan semangat dan energi positif pada kawannya yang terkapar tadi. Dengan kesungguhannya membangkitkan sang kawan, ia mampu membuat mereka terbang bersama, melupakan segala penderitaan sebelumnya juga bersama.\
Agak klasik memang, sesederhana itu saja peran seorang teman, saling menyemangati, pun peran seorang anak, ibu, saudara, sepupu dan kerabat lain, sederhana, hanya butuh saling memotivasi dan menyemangati.
Ketika di odong-odong, saya berkata pada Saraholmes, "Rah, berarti, manusia emang gak bisa hidup sendirian, ya..."
Terkadang manusia butuh banyak menangis untuk mengerti salah itu seperti apa
Terkadang manusia butuh sedikit merenung untuk mengetahui hidup itu seperti apa
Saraholmes, begitu ia ingin di panggil. Sahabat satu jurusan di Sastra Jerman Unpad, bersamanya hari ini kami meneliti sesuatu yang sangat sesuatu.
Sesuatu yang setelah melihatnya, kami menyepakati suatu hal, yaitu hidup tidak bisa sendirian, hidup butuh penyemangat, pemacu motivasi, sesuatu yang membangkitkan yang lemah dengan cinta.
Hari ini, kami duduk-duduk di depan AMC (Al-Mushlih center), suatu tempat yang sangat nyaman untuk berbagi cerita. Tanpa di sadari, dengan sendirinya rasa nyaman itu datang.
Hari ini, tumben saja kami ingin berada di luar, biasanya di dalam. Padahal hari ini angin cukup kencang, sesekali melihat ular-ulat yang berjatuhan, daun-daun berguguran, hingga sampai pada akhirnya kami menyadari bahwa banyak sekali kupu-kupu hari ini. Tidak seperti biasanya.
Dari sekian banyak kupu-kupu yang kami amati, ada satu yang menyadarkan kami tentang memotivasi sesama.
Ada seekor kupu-kupu berwarna kuning putih yang terus berputar-putar, kami awalnya bingung, apa yang sedang kupu-kupu itu lakukan. Sembahyang kah? menari kah? atau gila kah?
begitu kami sedikit menundukan kepala, ternyata ada seekor lagi kupu-kupu berwarna sama yang terkapar. Saya tidak tahu apa maksud kupu-kupu itu sampai akhirnya ia mengangkat kupu-kupu yang terkapar. Berkali-kali jatuh. Tapi ia angkat lagi, sampai akhirnya ia mampu membawa kawannya yang terkapar sejauh dua langkah saya. Dua kupu-kupu itu terkapar, saya pikir, mereka pasti kelelahan, menyerah sudah sang kawan yang ingin menolong.
But, hal terindah terjadi selanjutnya. Ketika saya pikir mereka sudah kelelahan dan mungkin saja mati, ternyata tidak, mereka terbang, kedua kupu-kupu kuning putih itu terbang.
saya pikir yang terjadi adalah, si kupu-kupu menyalurkan semangat dan energi positif pada kawannya yang terkapar tadi. Dengan kesungguhannya membangkitkan sang kawan, ia mampu membuat mereka terbang bersama, melupakan segala penderitaan sebelumnya juga bersama.\
Agak klasik memang, sesederhana itu saja peran seorang teman, saling menyemangati, pun peran seorang anak, ibu, saudara, sepupu dan kerabat lain, sederhana, hanya butuh saling memotivasi dan menyemangati.
Ketika di odong-odong, saya berkata pada Saraholmes, "Rah, berarti, manusia emang gak bisa hidup sendirian, ya..."
Sabtu, 16 Maret 2013
Aroma Persahabatan
"Sedih bila kuingat tengkaran itu
Membuat jarak antara kita
Resah tiada menentu hilang canda tawamu
Tak ingin aku begini tak ingin begini
Sobat rangkaian masa yang tlah terlewat
Buat batinku menangis
Mungkin karena egoku mungkin karena egomu
Maaf aku buat begini maaf aku begini
Reff :
Bila ingat kembali janji persahabatan kita
Tak kan mau berpisah karena ini
Pertengkaran kecil kemarin cukup jadi lembaran hikmah
Karena aku ingin tetap sahabatmu
Lagu dari edCoustic-Pertengkaran Kecil...Membuat jarak antara kita
Resah tiada menentu hilang canda tawamu
Tak ingin aku begini tak ingin begini
Sobat rangkaian masa yang tlah terlewat
Buat batinku menangis
Mungkin karena egoku mungkin karena egomu
Maaf aku buat begini maaf aku begini
Reff :
Bila ingat kembali janji persahabatan kita
Tak kan mau berpisah karena ini
Pertengkaran kecil kemarin cukup jadi lembaran hikmah
Karena aku ingin tetap sahabatmu
Mungkin tidak terhitung berapa kali kita bertengkar dengan sahabat kita
Mungkin hanya masalah kecil, mungkin hanya sekedar ego, mungkin hanya karena ketidakpekaan, bisa jadi karena memang hal besar.
Tapi,sangat mungkin kita berputus selamanya, bisa jadi silahturahmi putus.
Menangis seharian karena hal itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Yang sedang bertengkar dengan sahabatmu...
Pandanglah ia, ingatlah indahmu bersamanya, kebaikannya padamu, lembutnya suara ia ketika muram wajah kita, "Kamu ga apa-apa?" .
Ingatlah Lantangnya suaranya ketika membelamu.
Ingatlah marahnya ketika memperingatkanmu saat kau berbuat hal yang buruk.
Ingat pula senyumnya yang mungkin ketika itu sedang tidak bahagia.
Tangisnya ketika masalahmu tidak bisa ia selesaikan.
Ingatlah janji-janji yang dulu dibuat, "Eh, nanti... kalau kita ngekos bareng bisa jama'ahan terus..."
Merasa bersalahlah ketika bertengkar, menyesallah karena harus melepas sahabat terbaik karena sesuatu yang tidak penting...
Bagi kamu yang tidak sedang bertengkar dengan sahabatmu...
Pandangilah pula ia
Perlakukan ia sebaik perlakuanmu pada dirimu
"Tidak ada satu pun diantara kalian yang benar-benar beriman
sampai ia menginginkan bagi saudaranya
apa yang mereka ingini untuk dirinya sendiri" (H.R Bukhori Muslim)
Jangan biarkan ia kecewa, marah, sampai memutus silahturahmi denganmu
Jangan pula membuat ia merasa bersalah kepadamu, jangan pula membuat ia merasa mengecewakamu
Bersahabatlah dengan gembira, seakan setelah ini tidak akan ada lagi persahabatan di muka bumi
Teruntuk sahabat yang pernah saya kecewakan juga mengecewakan saya
Teruntuk sahabat yang hingga kita sabar bersama saya, yang lama mau pun yang baru
Dari saya, dalam persahabatan, tidak ada yang lebih penting dari kebersamaan kita dan nasihat kalian . . .
Jumat, 08 Maret 2013
Dulu, biarkan berlalu
sore
ini saya, teh Nakibah Hanum dan teh Rahmi Ayunda turun dari FIB melewati
tanjakan Cinta, tapi karena kami dari FIB, maka kami menuruni tanjakan Cinta,
sepanjang jalan kita mengingat-ingat film kartun jaman SD, mulai dari Chibi
maruka chan, yang pipinya merah-merah,
“Hal yang menyenangkan hati
Banyak sekali
Bahkan kalau kita bermimpi
Sekarang ganti baju
Agar menarik hati
Ayo kita mencari teman
Jalan panjang menuju langit biru
Tiba tiba kulihat seorang anak
Yang menemukan harta karun di dalam sana
Alangkah senang dan hati gembira
Wangi angin
Padang rumput di sore hari
Sampaikan salam
Gembira...
Hal yang menyenangkan hati
Banyak sekali
Bahkan kalau kita bermimpi
Sekarang ganti baju
Agar menarik hati
Ayo kita mencari teman”
Begitu kira-kira liriknya, tidak sampai si situ, lanjut ke
Ninja Hatori dan Doraemon.
Ting! Langsung ingat
masa kecil, terus pengen kecil lagi.
Yang dulu...
Dulu juga ingat ketika kecil, bersama
sepupu saya, susi, kami sering berceloteh, “Tar kalo susi kelas 3, fahda kelas
2.” Kata saya yang saat itu SD kelas satu. “Ya. Tar kalo pahda kelas 3,
susi kelas 4.” Katanya menyahut. Terus sampai kita tingkat SD berakhir, tidak
dilanjurkan sampai kuliah karena memang kami belum mengerti SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi.
Saya
sangat mengingat kejadian itu. Entah,
kadang ada sesuatu yang sangat melekat diingatan kita. Begitulah, kami hanya
berceloteh seperti itu satu kali.
Dulu pulang sekola sama bahong, agis,
susi, indri juga pernah ngabrit karena di gonggingin anjing galak. Anak kecil
polos dasar, di gonggongin aja kabur, jelas anjingnya di ikat dan di dalam
kandangnya.
Dulu sama Indri manjat pohin kecapi yang
tingginya minta ampun. Dasar anak kecil, berani naik gak berani turun, saat itu
rasanya saya mau nangis karena takut turun dari pohon kecapi.
Dulu ingat main galaksin sepulang ngaji,
yang saat itu anak putri selalu kalah di banding laki-laki. Dasar anak putri,
udah jelas yang putra curang, tapi percaya aja kalau mereka gak curang.
Dulu waktu ngaji, berebutan mau ngaji
duluan. Dasar anak kecil, gak mau ngalah.
Dulu waktu kecil iri kalau temen punya
mainan baru.
Dulu
masih kecil main gambaran sampai lupa waktu ngaji. Dasar anak kecil, tahunya
main saja.
Dulu
pernah ngumpet-ngumpet minum pasbulan puasa sama Mba Nuri.
Dulu
selalu ngjailin anak orang sama Resti, Nuri, Yola
Dulu
main monopoli kalau abis sholat subuh.
Dulu
nyari laya di kali, ngebak di sawah, main air di kali sampe bosan. Sayang,
sekarang airnya sudah keruh.
Dulu
pura-pura piket di langgat pas ujan, padahal pengen maen ujan-ujanan. Baru pulang
kalau nenek udah teriak-teriak.
Dulu
kalau marahan, baikannya cepet dan gak perlu ngomong apa-apa.
Dulu kalau jajan barengan, kuncir samaan. Tas
senada. Baju senada.
Dulu...
Dulu ya, dulu. Seberapa keras saya ingin
kembali, seberapa ngebet ingin kembali, dulu ya dulu. Tidak bisa mengulang.
Dulu ada seorang teteh, kakak kelas di
Rohis bilang, teh Anis, kami memanggilnya, tapi sudah lama tidak kontak. Beliau
bilang, „Kita ini seperti mengendarai sepeda motor atau mobil. Sesekali boleh
melihat spion, melihat kebelakang, tapi jangan terus menerus melihatnya. Nanti nabrak.“
Yup, seberapa Indahnya masa kecil dulu,
biarlah ia menjadi pelajaran, biarlah ia bersemayam di memori untuk membuat
kita sadar, betapa banyaknya anugerah Tuhan yang telah kita dapat.
Sesekali boleh melihat masa lalu, tapi mau
apa? Kita di sini, di kehidupan sekaran. So, move on.
Rabu, 06 Maret 2013
Yang hanya sekali
Pernah bermain tendo? Atau
Playstation? Ah, pernah main permainan super Mario kan? Saya ingat ketika kecil
dulu, rajin bermain super Mario atau sekedar menonton orang bermain itu di
rumah sepupu saya. Gimana?
Kalau tidak salah, permainan itu
dimulai dari level paling rendah dulu, mengambil setiap bintang yang ada, dari
tempat yang mudah sampai sulit dijangkau, terkadang ada musuh yang
berseliweran, yang kalau misalnya kita kena, langsung mati.
Saya pikir sama saja seperti kita,untuk
meningkat ke level hidup yang lebih baik, insyaallah kita diuji dulu dari level
terendah sampai tertinggi, bedanya dengan super Mario adalah, ketika mati, maka
akan ada cadangan 2 nyawa lagi bahkan di pertengahan permainan ada nyawa
tambahan yang diberikan. Kita? Hanya satu, hanya satu, tidak kurang tidak
lebih.
Apakah dengan nyawa yang hanya satu
itu kita rela melewatkan semua bintang yang di atas kepala kita? Atau, kita
rela meabrakan diri ke musuh atau menjatuhkan diri ke jurang-jurang permainan? Hanya
sekali.
Untuk hidup yang hanya sekali, saya
rasa banyak diam saya yang mengusik, kalimat yang tidak pantas, perbuatan yang
menabrak. Saya khawatir ini postingan terakhir, saya hanya berharap, kelak
tidak ada yang perlu disesali di alam nyata.
Langganan:
Postingan (Atom)