"Gue Debi, gue suka bingung kalo ditanya asal dari mana, ibu gue padang, ayah gue... lahir di... tapi sekarang di pamulang."
Pertemuan pertama kami di BlueStage, tanggal 29 waktu itu, kita berkumpul untuk persiapan Opera Budaya, saat itu ia anak sastra Jerman pertama yang saya kenal, saya jabat tangan mungilnya dengan hangat.
"Kirain gue Unpad itu di Bandung kota, eh ternyata di Jatinangor. Kulit gue jadi kering-kering nih." Ceria... ceriaa sekali ia. Gak pernah kalau bertemu dia, dia sedang menangis, cemberut atau mengeluh.
Kedekatan kami dimulai karena kesamaan gemar blogging, kami bertukar blog dan saling berkomentar. Lalu kita bersepuluh dikumpulkan dan dipertemukan, kami menyebut diri kami PKK GENERATION.
Di perjalanan persahabat kami bersebelas, Mak Ratna, Upi Febi, Unni Sarah, ade Anggit, Teteh Rani, Mbak Azmi, Mpok Vina, Bu rempong Revi, ayeng ajeng, Kakak Debi dan Saya, yang mereka sebut neng Fahda, kami melalui hari-hari ceria. Membuat Video gila, nyanyi-nyanyi lagu india, belajar musik dari Kak Deb, beli AMK di Jatos, beli seblak di Jatos, bareng.
Indah, Kak Deb saat-saat bersama Kak Deb dan PKK Generation.
Siang ini, saya menerima sms duka. Kak Deb kami, telah dipanggil ke dunia yang kekal karena sakit yang di deritanya.
Kak Deb, baru kamrin saya dan teman kosan membecirakan kematian, Kak Deb.
Kak Deb, besok UAS Bahasa Inggris, jadi ingat, Kak Deb paling semangat buat nyemangatin saya belajar bahasa Inggis yang ngenekinnya minta ampun. "Ayooo barisan cum laude!" katanya. Kak Deb, saya rasa wisudaan nanti kita tidak bisa baris bersama.
Banyak kenangan kami bersama, saya ingat saat kita di kosan saya, saat itu pertama kali upi Feby penen coba pake jilbab, eh Kak Deb ikut-ikutan nyobain jilbab.
Saya ingat cita-cita Kak Deb, kami rencana membuat orkestra kecil, buat iseng-iseng. Kak Deb paling semangat nyuruh saya latihan biola, "Yuk latihan." kalau saya alasan senar belum ganti, padahal males, ada aja ide kak Deb, "Ah gampang, tar ada biola temenku."
Kak Deb, saya baru mengerti, Foto ini diambil saat jam Bahasa Inggris, saat itu dosen gak ada. Kak Deb maksa kita buat foto bareng, katanya mumpung hape baru, mumpung lagi kumpul semua kecuali teteh Rani. Kak Deb saya paham sekarang.
Kak Deb, persahabatan kita bersebelas tidak dibatasi perbedaan agama
tidak dibatasi perbedaan bentuk badan
tidak dibatasi perbedaan warna kulit
tidak dibatasi dengan perbedaan kelas deutsch, PU dan WA
tidak dibatasi dengan perbedaan selera pedas
tidak dibatasi dengan perbedaan departemen
tidak dibatasi dengan perbedaan agenda mingguan
Kak Deb biar UAS ini gak ada Kak Deb, PKK Generation akan tetap nyimpen Kak Deb di hati kami. Love You
Maaf kalau tulisan ini menambah kesedihan kita, tapi biarlah saya mengenang Kak Deb lewat ini.
Fahda A. Fauziani
Senin, 17 Juni 2013
Minggu, 16 Juni 2013
Hikmah diatara Rak-Rak Buku
Subhanallaah...
Hari minggu ini sungguh luar biasa.
Jadi begini curhatnya...
Hari minggu kemarin saya pergi ke Tissera untuk membeli sebuah buku dan liat-liat senar biola. Ketika saya berdiri di deretan buku Ust. Yusuf Mansyur ada seorang teteh berjilbab panjang berwarna senada dan memakai sarung tangan menghampiri saya yang saat itu sedang galau mau beli buku The secret of a happy life atau tidak. karena galau berkepanjangan akhirnya buku itu saya letakkan lagi ke tempat semula.
Kami berkenalan sekedar nama, asal dan seputar perkuliahan. Beliau kaget mendengar seorang saya di sastra jerman. Hanya itu, kemudian saya pamit mencari-cari buku lagi.
Gak lama ketika saya sedang di buku musik, teteh itu kembali lagi menghampiri saya. Kali ini beliau meminta nomor handphone saya, saya belum tahu apa maksudnya, tapi saya berikan karena saya pikir tidak ada yang salah dari berbagi nomor.
lalu teteh itu berujar, "Subhanallah ya, pahdah (Saya gak ngerti, kenapa nama saya bisa berubah) Kita sebelumnya gak tau satu sama lain. Kamu dari bogor, saya dari mana. Tapi Allah mempertemukan kita disini. ini kan sebagai silahturahmi, ya?" saya hanya senyum-senym, mengangguk-anggup sepanjang pembicaraan.
Lalu banyk hal yang ia jelaskan, yang tidak bisa saya ingat semua kata-katanya. saya hanya ingat dengan jelas nasihatnya tentang eksistesi manusia.
Awalnya beliau bertanya kenapa saya belajar Bahasa Jerman? sumpah demi apapun, saat itu saya hanya berpikir bahwa saya mau sastra jerman. Tapi beliau meluruskan niat belajar saya yang bengkok, katanya
"Jangan sampai kita belajar hanya untuk belajar, jangan sampai kita hanya mengejar dunia. Kalau bisa niatkan sebagai ajang mendekat ke jalan Allah, siapa tahu dek, siapa tadi? (Udah salah lupa lagi) bisa berangkat ke Jerman, kan kalau bisa bahasa Jerman bisa berdakwah di sana, kalau gak bisa bahasa Jerman kan nanti miss communication." Kembali saya ngangguk-ngangguk autis.
"Kita jangan sampai eksis di dunia karena mengejar dunia. Harta? untuk apa kalau pada akhirnya hanya bisa memberikan selembar kain kafan? Keluarga? Jangan sampai kita terlalu mencintai keluarga kita di banding Allah, padahal keluarga cuma bisa mengantarkan kita sampai ke liang lahat. Amal baik? ini yang mungkin sangat berguna." Lanjutnya kalimatnya, yang belakangan baru saya ketahui bahwa itu adalah kutipan dari salah satu hadist. Seperti sebelumnya, saya hanya manggut-manggut.
"Tahu gak untuk apa Allah menciptakan manusia?" tanyanya.
sebelum menjawab saya senyam-senyum dulu, larak-lirik mencari jawaban.
"Yang saya tahu sih, teh. Untuk ibadah dan menjadi Khalifah teh. hehheeehe."
"Hmmm..." sepertinya beliau tidak puas dengan jawaban saya. "Ya betul juga, sih. cuma yang mau saya jelaskan di sini adalah, bahwa manusia itu punya kewajiban selalu menaati perintahnya dan menjauhi larangannya."
Dalam hati saya bilang, 'Abid dan menjadi Khalifah rasanya mencakup.
Sebenarnya saya tidak bisa membaca kemana arah pembicaraan kita, entah apa sebenarnya yang ingin dikatakan sang teteh. Hanya saja, ini sebuah keluarbiasaan yang amat sangat, sepertinya hikmah bisa ditarik dari mana saja, bahkan di antara rak-rak buku atau bahkan di depan kasir. Allah tahu mana yang dibutuhkan hambanya, maka saat itu, saya yang minggu ini pulang kampung dan mangkir dari melingkar diberi sesuatu dari orang yang baru saya kenal. Wallahu'alam.
Ambil saja kebaikan dari tulisan ini, dan itu pasti datangnya dari Allah.
Yang pasti datang dari keburukan saya dalam tulisan itu, tendang saja.
salam cinta persaudaraan,
Fahda A. Fauziani
Hari minggu ini sungguh luar biasa.
Jadi begini curhatnya...
Hari minggu kemarin saya pergi ke Tissera untuk membeli sebuah buku dan liat-liat senar biola. Ketika saya berdiri di deretan buku Ust. Yusuf Mansyur ada seorang teteh berjilbab panjang berwarna senada dan memakai sarung tangan menghampiri saya yang saat itu sedang galau mau beli buku The secret of a happy life atau tidak. karena galau berkepanjangan akhirnya buku itu saya letakkan lagi ke tempat semula.
Kami berkenalan sekedar nama, asal dan seputar perkuliahan. Beliau kaget mendengar seorang saya di sastra jerman. Hanya itu, kemudian saya pamit mencari-cari buku lagi.
Gak lama ketika saya sedang di buku musik, teteh itu kembali lagi menghampiri saya. Kali ini beliau meminta nomor handphone saya, saya belum tahu apa maksudnya, tapi saya berikan karena saya pikir tidak ada yang salah dari berbagi nomor.
lalu teteh itu berujar, "Subhanallah ya, pahdah (Saya gak ngerti, kenapa nama saya bisa berubah) Kita sebelumnya gak tau satu sama lain. Kamu dari bogor, saya dari mana. Tapi Allah mempertemukan kita disini. ini kan sebagai silahturahmi, ya?" saya hanya senyum-senym, mengangguk-anggup sepanjang pembicaraan.
Lalu banyk hal yang ia jelaskan, yang tidak bisa saya ingat semua kata-katanya. saya hanya ingat dengan jelas nasihatnya tentang eksistesi manusia.
Awalnya beliau bertanya kenapa saya belajar Bahasa Jerman? sumpah demi apapun, saat itu saya hanya berpikir bahwa saya mau sastra jerman. Tapi beliau meluruskan niat belajar saya yang bengkok, katanya
"Jangan sampai kita belajar hanya untuk belajar, jangan sampai kita hanya mengejar dunia. Kalau bisa niatkan sebagai ajang mendekat ke jalan Allah, siapa tahu dek, siapa tadi? (Udah salah lupa lagi) bisa berangkat ke Jerman, kan kalau bisa bahasa Jerman bisa berdakwah di sana, kalau gak bisa bahasa Jerman kan nanti miss communication." Kembali saya ngangguk-ngangguk autis.
"Kita jangan sampai eksis di dunia karena mengejar dunia. Harta? untuk apa kalau pada akhirnya hanya bisa memberikan selembar kain kafan? Keluarga? Jangan sampai kita terlalu mencintai keluarga kita di banding Allah, padahal keluarga cuma bisa mengantarkan kita sampai ke liang lahat. Amal baik? ini yang mungkin sangat berguna." Lanjutnya kalimatnya, yang belakangan baru saya ketahui bahwa itu adalah kutipan dari salah satu hadist. Seperti sebelumnya, saya hanya manggut-manggut.
"Tahu gak untuk apa Allah menciptakan manusia?" tanyanya.
sebelum menjawab saya senyam-senyum dulu, larak-lirik mencari jawaban.
"Yang saya tahu sih, teh. Untuk ibadah dan menjadi Khalifah teh. hehheeehe."
"Hmmm..." sepertinya beliau tidak puas dengan jawaban saya. "Ya betul juga, sih. cuma yang mau saya jelaskan di sini adalah, bahwa manusia itu punya kewajiban selalu menaati perintahnya dan menjauhi larangannya."
Dalam hati saya bilang, 'Abid dan menjadi Khalifah rasanya mencakup.
Sebenarnya saya tidak bisa membaca kemana arah pembicaraan kita, entah apa sebenarnya yang ingin dikatakan sang teteh. Hanya saja, ini sebuah keluarbiasaan yang amat sangat, sepertinya hikmah bisa ditarik dari mana saja, bahkan di antara rak-rak buku atau bahkan di depan kasir. Allah tahu mana yang dibutuhkan hambanya, maka saat itu, saya yang minggu ini pulang kampung dan mangkir dari melingkar diberi sesuatu dari orang yang baru saya kenal. Wallahu'alam.
Ambil saja kebaikan dari tulisan ini, dan itu pasti datangnya dari Allah.
Yang pasti datang dari keburukan saya dalam tulisan itu, tendang saja.
salam cinta persaudaraan,
Fahda A. Fauziani
Jumat, 14 Juni 2013
Gerbang yang Sudah lama tersegel
Saya akan menceritakan tentang seseorang. Ia seorang kriminal, hidupnya di jalan, makannya tak tentu, ia bisa makan sangat enak ketika hasil copetan dan jambretannya bagus tapi sebaliknya.
Suatu hari, ia bertemu seorang muslim yang kece, pemuda. Menawarkannya sebotol air mineral setelah ia jatuh tersandung patok besi. Hatinya tersentuh melihat keramahan sang pemuda kepada dirinya yang terkenal bengis. Di mata sang pemuda, tidak ada rasa takut, melecehkan atau merasa tinggi kepada sang preman. Ia pikir, semua muslim taat pasti melecehkannya, mencaci dan memakinya, pernah suatu hari, ada yang menghancurkan tempat tinggalnya bersama kelima temannya tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya. Pemuda ini berbeda, ia datang dengan kabar gembira, sang preman sungguh sangat simpatik.
"Eh, bocah. Lu kaga takut ama gua?"
"Heheh. Takut bang. Siapa yang ga kenal abang? takutlah saya." Padahal sang preman tahu, sang pemuda tidak takut sama sekali. Biar kata preman, ia sangat lihat membaca mata seseorang, sang pemuda berkata begitu hanya untuk mengakrabkan diri dan membangun kepercayaan, pikirnya. Pasti di dalam hatinya, ia berkata, "Saya hanya takut kepada Allah."
Apa daya sang pemuda terlalu menggemaskan untuk di perlakukan buruk. Maksudnya, akhlaknya yang menggemaskan. Mereka duduk bersama, karena saat itu kaki si preman terkilir. Anak bukan, saudara bukan, sang pemuda dengan senang hati memijat kaki sang preman 30 tahunan, lajang, terkilir pula.
"Tadinya gua pikir, gua mau resign aja." kata sang preman dengan mata bening kosong, ini pertama kalinya ia curhat denan seseorang yang baru ia kenal satu hari.
"Resign jadi copet, Bang?"
"Bukan. Jadi manusia, gua pikir, gua lebih baik mati, kan? tapi tetep aja, Allah ngebiarin gua hidup dan ngelakuin hal yang sama lagi. Nyopet tiap hari, ngerampok tiap hari. Gua heran, apa Dia nunjukin kekuatan Dia? sesombong itukah Tuhan? tega bener ngebiarin gua hidup dan ngelakuin dosa lagi." Seakan pintu yang sudah lama ditutup dan disegel terbuka kembali.
"Mungkin, Bang. Allah begitu karena gak tega ngeliat abang langsung disiksa di kuburan, Bang. Allah gak nerima surat pengunduran diri abang karena Allah pengen abang jadi orang yang baik, kayaknya, Bang. Roman-romannya, nih, Allah pengen ketemu abang di syurga, Bang. Waaah, saya jadi iri ama abang."
Sang preman mengedip-ngedipkan matanya. Ini pertama kalinya ia mendengarkan perkataan bocah juga pertama kalinya mendenga nasihat yang begitu pas kata-katanya untuk seorang preman juga pertama kalinya ada orang yang iri sama dia.
Ini pertama kalinya, seorang pemuda yang memperlakukannya sebagai orang tua, memperlakukannya sebagai orang yang terkilir, dakwahnya mengalir begitu saja, tanpa memaksakan sang preman sebagai objek dakwahnya.
"Eh, Bocah. Lu ngaji dimana, si?" sang pemuda tertegun, merinding luar biasa...
Suatu hari, ia bertemu seorang muslim yang kece, pemuda. Menawarkannya sebotol air mineral setelah ia jatuh tersandung patok besi. Hatinya tersentuh melihat keramahan sang pemuda kepada dirinya yang terkenal bengis. Di mata sang pemuda, tidak ada rasa takut, melecehkan atau merasa tinggi kepada sang preman. Ia pikir, semua muslim taat pasti melecehkannya, mencaci dan memakinya, pernah suatu hari, ada yang menghancurkan tempat tinggalnya bersama kelima temannya tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya. Pemuda ini berbeda, ia datang dengan kabar gembira, sang preman sungguh sangat simpatik.
"Eh, bocah. Lu kaga takut ama gua?"
"Heheh. Takut bang. Siapa yang ga kenal abang? takutlah saya." Padahal sang preman tahu, sang pemuda tidak takut sama sekali. Biar kata preman, ia sangat lihat membaca mata seseorang, sang pemuda berkata begitu hanya untuk mengakrabkan diri dan membangun kepercayaan, pikirnya. Pasti di dalam hatinya, ia berkata, "Saya hanya takut kepada Allah."
Apa daya sang pemuda terlalu menggemaskan untuk di perlakukan buruk. Maksudnya, akhlaknya yang menggemaskan. Mereka duduk bersama, karena saat itu kaki si preman terkilir. Anak bukan, saudara bukan, sang pemuda dengan senang hati memijat kaki sang preman 30 tahunan, lajang, terkilir pula.
"Tadinya gua pikir, gua mau resign aja." kata sang preman dengan mata bening kosong, ini pertama kalinya ia curhat denan seseorang yang baru ia kenal satu hari.
"Resign jadi copet, Bang?"
"Bukan. Jadi manusia, gua pikir, gua lebih baik mati, kan? tapi tetep aja, Allah ngebiarin gua hidup dan ngelakuin hal yang sama lagi. Nyopet tiap hari, ngerampok tiap hari. Gua heran, apa Dia nunjukin kekuatan Dia? sesombong itukah Tuhan? tega bener ngebiarin gua hidup dan ngelakuin dosa lagi." Seakan pintu yang sudah lama ditutup dan disegel terbuka kembali.
"Mungkin, Bang. Allah begitu karena gak tega ngeliat abang langsung disiksa di kuburan, Bang. Allah gak nerima surat pengunduran diri abang karena Allah pengen abang jadi orang yang baik, kayaknya, Bang. Roman-romannya, nih, Allah pengen ketemu abang di syurga, Bang. Waaah, saya jadi iri ama abang."
Sang preman mengedip-ngedipkan matanya. Ini pertama kalinya ia mendengarkan perkataan bocah juga pertama kalinya mendenga nasihat yang begitu pas kata-katanya untuk seorang preman juga pertama kalinya ada orang yang iri sama dia.
Ini pertama kalinya, seorang pemuda yang memperlakukannya sebagai orang tua, memperlakukannya sebagai orang yang terkilir, dakwahnya mengalir begitu saja, tanpa memaksakan sang preman sebagai objek dakwahnya.
"Eh, Bocah. Lu ngaji dimana, si?" sang pemuda tertegun, merinding luar biasa...
Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan peringatan yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang baik. sesungguhnya, Tuhanmulah Yang Maha Tahu siapa yang tersesat dari jalanNya dan Yang Maha Tahu siapa yang mendapat petunjuk. An-nahl:125
Ini hanya fiktif, kalau ada kesamaan cerita, Alhamdulillah.
Semoga cerita ini menginspirasi
salam cinta,
Fahda A. Fauziani
Selasa, 04 Juni 2013
Finding ourselves ^^ - Belajar dari Harry Potter
“Life is not about finding yourself. Life is about creating yourself”
Kata-kata itu saya dapat dari buku tulis yang saya beli di
favorit stationary. Entah mengapa kalimat itu begitu menghipnotis. Versi
lebainya, saya tidak bisa melupakan kalimat itu dalam sepuluh menit kedepan.
Kalau
dipikir-pikir, ada benarnya juga kata-kata itu. Mencari? Sampai kapan kita mau
mencari diri kita? Bukankah ada yang lebih mudah? Yaitu, membentuknya sendiri.
Logikanya, kalau ada yang lebih mudah,
mengapa mencari yang sulit. Hanya saja, disini bagaiman kita
menginginkan diri kita.
Saya
jadi ingat Film harry pottes the chamber of secret
Setelah menaklukan bassilik Harry
mengungkapkan apa yang mengganjal di pikirannya kepada Dumbledore, tentang
mengapa ia berada di Gryffindor pada saat seleksi masuk Hogwart.
“Ada persamaan antara saya dan
Tom Ridle (Voldemort). . . “
katanya. “Berarti topi, seleksi benar,
saya seharusnya berada di slyhterin.“
Kata Dumbledore, “Benar bahwa kau punya kekuatan voldemort: tegas, cerdik
dan suka melanggar peraturan. Tapi mengapa topi seleksi menempatkanmu di
Gryffindor?“
“Karena saya yang
menginginkannya.”
„Exactly, itulah yamg
membedakanmu dengan Voldemort. Bukan keahlian yang menunjukan siapa kita
sebenarnya, tapi pilihan yang kita ambil.”
Ya, begitulah. Harry bukan
menemukan dirinya di Gryffindor, tapi ia meminta sang topi untuk menempatkannya
di Gryffindor.
Kurang puas dengan ilustrasi Harry? Ayo kita cek Alquran,
saya lupa lengkapnya, tapi di surat itu dituliskan, Allah tidak akan mengubah
suatu kaum, kecuali mereka mengubahnya sendiri.
Ah, Fahda... fahda... bicara itu mudah, teori itu mudah! Ya,
saya juga tahu. Saya juga sedang berusaha, membentuk diri itu memang harus
praktik dengan serius. Saya tahu. Tapi bukan hal yang mustahil dari hanya
sekedar teori lalu melekat hingga bisa diaplikasikan, bukan?
Wallauhualam. Semoga bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)